Rangkiangsumbar Di tengah derasnya hujan yang mengguyur Kota Padang sejak beberapa hari terakhir, warga di sekitar Gunung Nago dikejutkan oleh suara gemuruh dari arah Batang Kuranji. Suara itu bukan sekadar riak air biasa. Pagi itu, Kamis (27/11), arus sungai yang membesar menyeret satu-satunya jembatan yang menghubungkan Kecamatan Kuranji dan Pauh jembatan yang selama bertahun-tahun menjadi nadi mobilitas warga.
Jembatan Gunung Nago bukan sekadar bangunan beton dan besi. Bagi warga Lambung Bukik hingga Kuranji, jembatan itu adalah jalur kehidupan. Setiap pagi, anak-anak sekolah menyeberanginya dengan riang, pedagang kecil melintasinya mendorong gerobak, dan para pekerja melaju ke tempat kerja melalui akses tersebut. Semua berlangsung seperti ritme harian yang tak pernah berubah hingga pagi itu datang.
Riko, salah seorang warga yang tinggal tak jauh dari lokasi, menjadi saksi betapa cepatnya sungai berubah ganas. “Airnya naik drastis. Dari malam sudah kelihatan besar, tapi kami tak menyangka bisa secepat itu menggerus bawah jembatan,” ujarnya. Ketika struktur jembatan mulai goyah, warga hanya bisa saling mengingatkan dari kejauhan, berharap tidak ada yang melintas.
Sejak jembatan itu ambruk, denyut aktivitas warga langsung terganggu. Jalan alternatif sebenarnya ada, tetapi jaraknya jauh lebih panjang. Ibu-ibu yang biasa belanja pagi mengeluh karena harus memutar hampir dua kali lipat dari biasanya. Para pelajar pun terpaksa berangkat lebih cepat agar tidak terlambat ke sekolah.
Bagi sebagian warga, kehilangan jembatan ini terasa seperti kehilangan sesuatu yang lebih besar. “Ini bukan cuma soal akses,” kata Andi, pedagang sayur keliling. “Setiap hari saya lewat sini. Rasanya janggal kalau tidak lewat jembatan itu. Seperti ada yang hilang.” Ia kini harus memutar jauh, membawa dagangan sambil menyesuaikan waktu dengan rute baru.
Di lokasi kejadian, aparat kepolisian dan pemerintah daerah datang melakukan pengecekan. Kapolsek Pauh, AKP Narsiwan, memastikan area sekitar dijaga ketat agar tidak ada warga yang mendekat terlalu dekat karena kondisi tanah masih labil. Ia menegaskan tidak ada korban jiwa, namun mengimbau warga tetap siaga terhadap perubahan cuaca ekstrem.
Bagi warga, harapan terbesar kini sederhana: perbaikan segera dilakukan. Musim hujan masih panjang, dan akses yang terputus membuat banyak kegiatan tersendat. Tetapi, di balik musibah itu, tampak pula semangat gotong-royong masyarakat. Warga bahu-membahu membersihkan puing-puing, memastikan aliran air tetap lancar, dan saling membantu mengatur jalur alternatif.
Meski jembatan itu telah tiada, cerita tentangnya terus bergema di tengah perbincangan warga. Tentang betapa pentingnya sebuah akses kecil bagi kehidupan banyak orang, tentang bagaimana alam bisa mengubah segalanya dalam hitungan menit, dan tentang keteguhan masyarakat menghadapi keadaan sulit.
Kini, di tepi Batang Kuranji yang masih berarus kuat, warga menunggu datangnya jembatan baru sebuah harapan sederhana untuk kembali menghubungkan kehidupan yang terputus (*)






